Rabu, 25 Februari 2015

Air Terjun Manyandar


Sore itu, entah kenapa saya iseng baca Koran harian yang tersohor di Kal Sel ini, ditengah asyiknya baca-baca sambil nyeruput kopi  hangat disertai rokok yang nikmat mata saya tertuju pada salah satu pojok halaman koran itu. Tampak sebuah foto air terjun (AT)  yang bernama Manyandar itu sontak membuat saya klepek-klepek…(Lebayyy :D)… Air Terjun Manyandar ini terletak di
desa Uren kecamatan Halong kabupaten Balangan – Kalimantan Selatan.

Oh indahnya, rupanya dinas pariwisata disana mempromosikan wilayahnya dengan salah satu media koran harian ini. Salah satu tempat yang berpotensi sebagai wisata alam yang sedikit berbumbu petualangan.
Kerena informasi yang sangat minim tentang AT ini saya pun berusaha mencari informasi kepada sumbernya langsung yaitu seorang wartawan yang memuat info tentang AT tsb dan dibantu teman saya yang ada di daerah Balangan. Setelah mendapatkan informasi tentang jalur, waktu tempuh serta guide yang dibutuhkan dan akhirnya saya dan satu teman saya pun memutuskan untuk berangkat ke sini. Menurut informasi yang saya dapat, ada dua jalur pilihan untuk menuju tempat ini, yang pertama mendaki bukit dan yang kedua menyusuri sungai berbatu dengan waktu tempuh kedua jalur tersebut kurang lebih 5 – 6 jam dengan hanya jalan kaki.

Setelah persiapan logistic dan perlengkapan, akhirnya kamipun berangkat menuju desa Uren yaitu desa terakhir menuju AT ini. Desa Uren bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih 1 jam dari kota Paringin ibukota kab Balangan, sesaat sebelum desa Uren jalanan berbukit dan belum beraspal hanya berbatu. Masyarakat desa ini seluruhnya berasal dari suku Dayak Pitap / Dayak Balangan, mereka hidup berdampingan dengan berbeda agama dan keyakinan yaitu agama Kristen, Budha dan Kaharingan meskipun begitu mereka hidup sangat rukun dan damai. Ini dibuktikan dengan adanya rumah ibadah dari masing-masing agama tersebut yang berdiri kokoh di desa ini.

Selamat datang di desa Uren, kawasan hutan yang dikelola oleh adat.
Setelah bertemu masyarakat desa setempat yang kami jadikan guide yang (kami panggil “paman” ) yang sebelumnya sudah berjanji terlebih dahulu beberapa hari sebelumnya. Sampai disini ternyata kami harus naik motor lagi sekitar 5 kilometer menuju anak desa tempat terakhir untuk memarkir motor dan memulai perjalanan kaki. Sampai disini ternyata ada seorang anak yang juga ingin ikut bersama kami. Akhirnya kamipun berangkat dengan jumlah personil  4 orang. Oya, memang disarankan memakai guide menuju AT ini karena jalurnya yang sangat jarang dikunjungi juga selain itu kita bisa sedikit memberikan pekerjaan bagi masyarakat yang ada disana.

Matahari sudah di atas kepala, kami pun mengawali perjalanan dengan melalui hutan karet dan hutan bambu yang udaranya sangat segar dengan jalur setapak yang landai, sesekali saya dengar aliran air sungai disamping jalan ini. Sekitar 20 menit kamipun bertemu sungai, terkadang menyusuri terkadang berjalan ditepi sungai dengan maksud memotong jalan. Beberapa saat kemudian kami menemui jalan yang menanjak disamping sungai berbatu yang airnya sangat jernih ini, ternyata ini adalah jalur alternative yaitu melewati bukit. Setelah disarankan oleh paman, akhirnya kami pun memilih jalur dengan menyusuri sungai.  

Menyusur sungai sepertinya lebih mudah daripada harus menanjak bukit yang sepanjang perjalannya tidak ada sumber air. Menyusur sungai berbatu-batu sambil sesekali naik ke tebing berbukit dengan tujuan memotong jalan  ternyata luamayan berat juga loh, disamping langkah yang berat menempuh arus air juga pijakan kaki diatas batu-batu yang licin harus kuat, tidak heran kalau sesekali kita akan jatuh terpeleset.

Satu jam melewati sungai, kami pun mulai merasakan hawa yang berbeda, udara yang lebih lembab, pepohonan besar yang rindang serta tubuh yang sudah di isap oleh hewan endemic yang bernama halimatak atau pacet atau lintah daun atau ale-ale (bahasa setempat) atau dengan bahasa lainnya yang termasuk dalam fhilum Annelida subkelas Hirudenia (CMIIW) yang mengisap tanpa izin kita terlebih dahulu loh…, Sesekali cahaya matahari menyapa kami disela-sela pohon itu. Indahnyaaaaa, selamat datang di Hutan Meratus dalam benakku. Inilah hutan sesungguhnya, harmonisasi alam yang alami dan seimbang jauh dari keramaian dan campur tangan manusia.

temen saya Syarif dengan senjatanya... hihihi piss bro
Beberapa kali kami istirahat sejenak memulihkan kaki yang pegal karena menginjak batu sambil ‘cek saldo’ yaitu membuang pacet-pacet yang menempel ditubuh.
Sekitar kurang lebih 5 jam perjalanan menyusur sungai, aroma-aroma air terjun pun mulai tercium. Sungai yang awalnya mengalir tenang mulai berubah dengan adanya beberapa buah riam-riam kecil yang indah serta gemercik airnya yang menggoda saya untuk mencumbunya.



Riam riam kecil menyambut kedatangan kami

Segerrrrrr
Laksana pesta alam di hutan rimba, saya pun menghembuskan nafas lega karena dihadapan saya ramai bergemuruh beberapa buah Air Terjun yang mengalir indah. Ya, bukan hanya satu tetapi setidaknya ada bebrapa buah air terjun yang ada disini. Inilah Air terjun Manyandar.
Tempat ini masih perawan sangat sedikit orang yang berkunjung ke sini, sangat direkomendasikan bagi yang mau melupakan sejenak kebisingan maupun hutang piutang (ehh)... Namun, sedikit disayangkan, pada akhir tahun / musim kemarau ini kayaknya kami kurang tepat bertandang ke sini karena debit airnya yang sedikit, tapi sudahlah yang penting enjooooy broo.....





 

Pada hakikatnya AT ini tidak benar-benar terjun melainkan mengalir dibebatuan besar yang merupakan karakteristik kebanyakan AT didaerah pegunungan Meratus. Namun justru itulah yang membuat AT ini menjadi unik dengan keindahan batuan yang dengan bentuk bervariasi. Pada AT ini saya temui perbedaan pada AT lainnya didaerah pegunungan Meratus, yaitu batu yang dialiri air tersebut yang  memiliki tekstur cenderung kasar dan agak rapuh yang terendap selama puluhan atau ratusan tahun lalu, berbeda dengan AT pada umumnya dengan jenis batu yang licin serta solid padat berisi…ehhh….hihihihi
Kata “paman” kalau kita terus menuju hulu sungai (arah utara) akan mendapati beberapa buah AT lagi, namun perlu waktu berjam-jam yang  sudah dekat perbatasan dengan propinsi Kalimantan Timur. Namun kami memutuskan hanya sampai di sini dan memutuskan ngecamp untuk bermalam disini sambil mencari tempat yang agak landai bebas dari air bah.



Ritual wajib, narsissssss :D

Setelah istirahat sambil menyiapkan tenda sederhana, saya pun berniat mengabadikan AT ini dengan kamera tercinta namun sebuah pengalaman yang unik, disaat beberapa frame foto yang saya ambil dengan perlahan namun pasti saya dan teman saya dikerubuti oleh lebah madu bahkan pakaian yang kami gantung diranting pohon pun ikut dikerubutinya. Tanpa saya sadari, kami berkunjung kesini disaat musim kemarau dimana banyak lebah yang bersarang diatas pohon tinggi besar menyimpan madunya. Mungkin inilah ucapan selamat datang pada kami ditempat ini, candaku. Memang, sebaiknya untuk berkunjung ke sini adalah musim hujan dimana debit AT melimpah sehingga lebih puas dan nikmat saat dipandang. Namun itu semua tak menyurutkan kami untuk melanjutkan pemotretan esok pagi.
Oiya, beberapa foto dari semua foto-foto yang ada disini mengantarkan saya menjuarai lomba foto berskala nasional dan juga daerah. Alhamdulillah yah...hehehe



Malam pun menyelimuti, ditenda yang sederhana yang terbuat dari terpal inilah kami istirahat. Paman dan anak muda yang satunya mencari ikan disungai dengan alat sederhana yang dibawa dari rumah, “manyudak” itulah sebutan cara mereka mencari ikan yaitu dengan menyelam ke dalam air yang selanjutnya dengan alat tsb ditombaklah ikan-ikan yang sedang tidur dengan lelapnya. Alhasil, kami pun makan dengan menu sedap ikan sungai yang segar, ikan dimasak dengan cara direbus dengan sedikit tambahan bumbu penyedap. Satu rempah yang sangat membuat special masakan ini yaitu “patikala” seperti laos namun dengan aromanya yang lebih kuat  yang membuat masakan ini memanjakan lidah, sumpah…aaahh sedapnya makan malam itu.


Menjelang tengah malam disaat tertidur pulas setelah makan besar, lagi-lagi saya dapat surprise. Seketika perasaan nyeri sekali dipipi saya, antara mimpi dan kenyataan dan ternyata ini memang nyata bung. Sekawanan semut hitam / semut rang-rang itu menyerbu tempat tidur kami, tidak heran ternyata mereka juga ingin merasakan sedapnya sisa masakan dari tulang-tulang ikan yang kami buang tepat disamping  saya tidur :D
Apakah ini ucapan selamat datang lagi ???? hmmmm


makan malam dengan ikan segar yang barusan ditangkap
tenda yang sangat sederhana namun fantastis

Pagi harinya kami pun dengan leluasa mengabadikan melalui kamera kami sambil menikmati alam nan indah ini. Tak puas rasanya menikmati alam disini dalam satu hari, suatu saat saya kan kembali kesini.
Hari mulai siang, kami pun segera pulang. Perjalanan sederhana yang asyik namun berharga. Sampai jumpa Manyandar.

Ingat jaga selalu kebersihan jika berkunjung ke sini ya, bawalah pulang sampah kita. Jaga dan lestarikan alam kita selalu dimanapun berada.
Salam Lestari !!!!

3 komentar: